BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan dalam
pandangan Islam dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan
membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi
pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari tujuan pendidikan.
Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman
nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual
tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang
dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya
sebagai makhluk Tuhan.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan anak dalam islam ?
2. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan keimanan ?
3. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan moral ?
4. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan akal ?
5. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan kejiwaan ?
6. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan sosial ?
7. Apa
yang dimaksud dengan pendidikan seksual ?
C. Tujuan
penulisan
1. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan anak dalam islam
2. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan keimanan
3. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan moral
4. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan akal
5. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan fisik
6. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan sosial
7. Mengetahui
yang dimaksud pendidikan seksual
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Anak dalam Islam
Pendidikan dalam pandangan
Islam dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk anak
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai
perwujudan dari tujuan pendidikan. Peningkatan potensi spritual
mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta
pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif
kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan
pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya
mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
1.
Pendidikan
Keiman
Pendidikan keiman adalah membuka
kehidupan anak dengan kalimat tauhid La ilahaillah.. Aspek
menekankan bahwa dari lahir seorang anak harus di perkenalkan dan di latih
untuk selalu mengingat lafal tauhid tersebut. Kemudian, memberikan pemahaman
tentang perintah ibadah saat umurnya beranjak tujuh tahun. Dalam hadist
Al-Hakim dan Abu Dawud dari hadist Ibnu Amru bin Al-Ash bahwa Rasullullah
bersabda:
“Perintahkan anak-anak kamu
melaksanakan sholat pada usia tujuh tahun, dan disaat mereka telah beranjak
sepuluh tahun pukullah mereka jika tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah
tempat tidurnya”
Di qiyaskannya perintah sholat, maka
hendaknya membiasakan ibadah lain yang kemudian dirasa anak mampu melakukannya,
contoh puasa. Kegiatan seperti MABIT bisa menjadi sebuah media agar anak bisa
belajar mandiri dan mulai merasakan terpisah tidur bersama orang tua.
Pendidikan
keimanan mutlak diperlukan sekaligus agar potensi iman dalam diri anak dapat
berkembang sesuai dengan tuntutan ajaran keimanan dalam Islam. Di sini
pendidikan keimanan dipahami sebagai upaya mengikat anak dengan dasar-dasar
iman, rukun Islam dan dasar-dasar syari’ah
sejak anak mulai mengerti dan dapat memahami sesuatu.
Pengertian
pendidikan keimanan di atas boleh dikatakan sangat luas, karena tidak hanya
memberikan dasar-dasar keimanan kepada anak, tetapi juga rukun Islam dan
dasar-dasar syari’ah secara menyeluruh. Pada prinsipnya satu sama lain
aspek-aspek tersebut memang saling terkait sebagai totalitas ajaran Islam yang
harus ditanamkan kepada anak melalui keimanan kepada Allahdan ajaran yang
diwahyukan-Nya.
Secara
lebih khusus di sekolah-sekolah proses pembelajaran seperti itu merupakan pendidikan keagamaan atau
pendidikan agama Islam yang isinya diarahkan pada pendidikan al-Quran, Tauhid
(keimanan), Hadits, Fikih, Tafsir, Kebudayaan Islam dan ajaran hidup nabi saw. Tampak jelas
bahwa pendidikan keimanan (tauhid) termasuk bahagian integral dari pendidikan
keagamaan (pendidikan agama Islam) sebagai program pengajaran di sekolah.
2.
Pendidikan Moral
Prinsip dasar pendidikan moral Islam
didasarkan pada pendidikan Islam. Jiwa pendidikan Islam adalah akhlak atau
pendidikan karakter/moral. Moral atau akhlak mulia merupakan buah yang
dihasilkan dari penerapan syariah yang dilandasi oleh fondasi aqidah yang
kokoh. Dalam Al-quran ditemukan banyak sekali pokok keutamaan moral atau akhlak
yang dapat digunakan untuk membedakan perilaku seorang muslim. Rasulullah SAW.
bersabda : “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR.
At-Tirmidzi)
Pendidikan moral adalah pendidikan
untuk menjadikan anak manusia bermoral atau bermanusiawi. Artinya pendidikan
moral adalah pendidikan yang bukan mengajarkan tentang akademik, namun non
akademik khususnya tentang sikap dan bagaimana perilaku sehari-hari yang baik.
Pengertian moral dapat dipahami dengan mengklasifikasikannya
sebagai berikut:
·
Moral
sebagai ajaran kesusilaan, berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan
tuntutan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meningalkan perbuatan
jelek yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam suatu masyarakat.
· Moral sebagai aturan, berarti ketentuan
yang digunakan oleh masyarakat untuk menilai perbuatan seseorang apakah
termasuk baik atau sebaliknya buruk.
· Moral sebagai gejala kejiwaan yang timbul
dalam bentuk perbuatan, seperti berani, jujur, sabar, gairah dan sebagainya.
3.
Pendidikan Fisik
Apek kesehatan fisik lebih banyak
memahamkan kepada anak untuk bisa mengerti dan menjalankan aturan-aturan
kesehatan dalam makan dan minum, membentengi diri dari penyakit menular,
mengobati penyakit, dan menerapkan prinsip tidak boleh membahayakan diri
sendiri dan orang lain. Semua hal tersebut berkaitan dengan adab anak terhadap
diri nya sendiri dalam berinteraksi dengan cara hidupnya, dan berinteraksi
dengan lingkungan.
Dengan memenuhi kebutuhan makanan
yang seimbang, memberi waktu tidur dan aktivitas yang cukup agar pertumbuhan
fisiknya baik dan mampu melakukan aktivitas seperti yang disunahkan
Rasulullah: “ Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang
kuda.” (HR. Thabrani)
4.
Pendidikan Akal
Akal merupakan jalinan budi dan hati.
Dari budi akal mendapat pengetahuan, dari hati mendapat penghayatan. Antara
budi dan hati, antara pengetahuan dan penghayatan terjalin interaksi yang dapat
melahirkan ruh berupa: nafsu amarah, yang suka menyuruh kepada kejahatan. Nafsu
lawwaamah, yang berjuang antara kebaikan dan kejahatan. Nafsu musauwilah, yang
pandai meniup, sehingga kejahatan nampak sebagai kebaikan. Nafsu muthmainnah,
yang tenang dan tentram.
Oleh sebab itu, akal harus dididik,
dibekali ilmu pengetahuan, sehingga mampu terhindar dari melakukan perbuatan
tercela seperti menyontek, mencuri, mabuk-mabukan dan sebagainya. Dengan
demikian, anak yang terbina akalnya dan telah terkendali hawa nafsunya dengan
pendidikan, maka ia akan menjadi orang yang bermental tangguh, tawakal, tidak
mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian kehidupan. Indikasinya, anak tersebut
akan memiliki jiwa yang tenang, tidak lekas berputus asa karena dengan akal dan
pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang ada dibalik ujian dan
kesulitan yang dihadapi. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai
beban yang membuat dirinya lari dari Allah SWT, melainkan harus dihadapi dengan
tenang dan mengubahnya menjadi peluang rahmat dan kemenangan.
Membekalinya dengan ilmu pengetahuan
yang benar, akal mestilah diterangi oleh agama. Inilah sebabnya mengapa Islam
menghukumkan menuntut ilmu dan agama adalah keharusan (wajib) bagi setiap
muslim. Ilmu mengatur dan menuntun manusia dalam urusan dunia. Agama mengatur
dan menuntun kepada kebaikan kehidupan ukhrawi. Keduanya harus seimbang, senada
dengan sebuah hadits yang mengatakan “tidak ada agama bagi orang yang tidak
memiliki akal”. Manusia adalah makhluk yang berakal, akan tetapi tidak semuanya
mampu mempergunakan akalnya dengan baik.
Pada aspek ini para orang tau diminta
untuk bisa memberikan pengetahuan semenjak kecil terhadap hakikat-hakikat
berikut ini:
a. Keabadian
Islam dan relevansinya sepanjang ruang dan waktu.
b. Para
pendahulu Islam bisa meraih kemuliaan, kekuatan, dan peradaban dikarenakan
ketinggian agama Islam dan ditetapkannya sebagai undang-undang dan syariat.
c. Memberikan
suatu pemantik untuk anak agar bisa memahami tantangan-tantangan yang di buat
oleh musuh-musuh Islam. Misal: tantangan informasi media yang bisa menjadikan
contoh buruk bagi anak. Media tersebut bisa dari TV, Media Sosial, dan
pergaulan lingkungan.
5.
Pendidikan Kejiwaan
Pendidikan kejiwaan adalah suatu
proses atau usaha untuk menjadikan anak menjadi harmonis jiwanya. Adapun usaha
orang tua yang dapati dilakukan yaitu dengan membantu anak terbebas dari
gejala-gejala gangguan jiwa, berusaha membantu memecahkan problem-problem dalam
hidup, berusaha untuk membantu mengembangkan potensi, bakat, dan minat, serta
membantu anak untuk mempunyai kepribadian yang mulia.
Pendidikan kejiwaan secara spesifik
yaitu usaha atau proses yang dilakukan untuk membebaskan anak dari pribadi
minder, penakut rendah diri, iri hati, dan pemarah, sehingga tercipta anak-anak
yang mempunyai watak pemberani, berterus terang, perkasa, merasa sempurna,
senang berbuat baik pada orang lain, mampu mengontrol emosi, serta memiliki
semua keutamaan jiwa dan akhlak. Adapun dasar minder, penakut, rendah diri, iri
hati, dan pemarah termasuk dalam pembahasan mental juga dikarenakan oleh
pernyataan Kartini Kartono dan Jenny Andari yang mengatakan bahwa “penyakit
mental juga ditandai dengan fenomena ketakutan, pahit hati, hambar hati,
apatis, cemburu, iri hati, dengki, kemarahan-kemarahan yang eksplosif,
ketegangan batin yang kronis, dan lain- lain”.
6.
Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial adalah sebagai
proses sosialisasi anak, yang berarti akan mengarahkan kegiatannya pada
sosialisasi anak dalam lingkungan sosial. Menurut Santoso S. Hamidjojo
sebagaimana dikutip St.Vembriarto, mengatakan bahwa pendidikan sosial adalah
suatu proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik
(atau membina, membimbing, membangun) individu dalam lingkungan sosial dan
alamnya supaya secara bebas dan bertanggungjawab menjadi pendorong ke arah
perubahan dan kemajuan.[11]
Sedangkan M. Ngalim Purwanto
berpendapat bahwa pendidikan sosial adalah pengaruh yang disengaja yang datang
dari pendidik-pendidik (seperti nenek, paman dan bibi, ayah dan ibu, dan
guru-guru), dan pengaruh itu berguna untuk:
a. Menjadikan
anak itu anggota yang baik dalam golongannya,
b. Mengajar
anak itu supaya dengan sabar berbuat sosial dalam masyarakat, seperti dalam
rapat-rapat di jalan, dalam kereta api, di pasar, di dalam gedung bioskop, di Kantor
Pos, di warung koperasi, dan sebagainya. Pendeknya, di mana dan bilamana saja
ia berhubungan dengan orang-orang lain.12
Berdasarkan pendapat para ahli
tersebut di atas, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan
sosial adalah usaha mempengaruhi yang dilakukan dengan sadar, sengaja dan
sistematis agar individu dapat membiasakan diri dalam mengembangkan dan
mengamalkan sikap-sikap dan perilaku sosial dengan baik dan mulia dalam
lingkungan masyarakat sesuai dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota
masyarakat dan sebagai warga negara.
Semenjak anak terlahir ke dunia
dan menjadi amanah para orang tua, agama Islam memerintahkan kepada mereka
untuk menanamkan dasar-dasar kesehatan semenjak masih kecil, agar menjadi
manusia yang berakal matang, memiliki pemikiran yang lurus, tindakan yang
seimbang dan kemauan yang tinggi. Begitu juga orang tua hendaklah membebaskan
anak-anak dari segala faktor yang membutakan kemuliaannya, menghancurkan
eksistensi kepribadiannya, dan yang menjadikannya memandang dunia dengan
pandangan sinis, penuh kebencian dan pesimis.
7. Pendidikan Seksual
Ada
beberapa pokok pendidikan seks (sex education) secara praktis yang dapat diterapkan pada anak sejak
dini yaitu:
a. Menanamkan Jiwa Maskulinitas pada anak
laki-laki dan menanamkan jiwa feminitas Anak Perempuan. Orang tua harus memberikan
pakaian yang sesuai dengan jenis kelamin anak, sehingga mereka terbiasa untuk
berprilaku sesuai dengan fitrahnya. Mereka juga harus diperlakukan sesuai
dengan jenis kelaminnya.
b. Mendidik Menjaga Kebersihan Alat Kelamin.
Yaitu memberitahu anak untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih
dan sehat sekaligus juga mengajari anak tentang najis.
c. Menanam kan rasa malu terhadap anak. Rasa
malu harus ditanamkan kepada anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak,
bertelanjang di depan orang lain; misalnya ketika keluar kamar mandi, berganti
pakaian, dan sebagainya. Dan membiasakan anak untuk selalu menutup auratnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam
perspektif islam, anak merupakan amanah (titipan) Allah SWT yang harus dijaga,
dirawat, diberikan kasih sayang, dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang
tua. Menurut Imam Al-Ghazali metode melatih anak merupakan perkara yang terpenting
dan paling utama. Sejak lahir, anak telah diberikan potensi yang dapat dikembangkan
sebagai penunjang kehidupannya di masa depan. Bila anak dilatih untuk mengerjakan
kebaikan, ia akan tumbuh menjadi orang yang baik dan bahagia di dunia dan di
akhirat. Bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan, pada nantinya anak akan
mengalami hambatan-hambatan dalam pertumbuhan maupun perkembangannya.
Cara
orang tua menjaga anaknya adalah dengan mendidik dan mengajarkan akhlak yang
baik serta menjaganya dari perilaku buruk lingkungan sekitar anak. Apabila anak-anak
telah menunjukkan tanda-tanda dan mampu membedakan antara yang baik dan buruk,
maka orang tua harus terus meningkatkan pengawasannya kepada anak. Bila anak mulai
muncul rasa malu dan memiliki rasa segan, serta tidak mau melakukan beberapa hal
tertentu, dengan begitu anak sudah mulai bisa berpikir dengan baik sehingga mengetahui
perkara yang tidak baik dan anak mulai malu untuk melakukan hal-hal yang tidak
baik tersebut.
Orang
tua atau pendidik hendaknya memprioritaskan pendidikan agama yang berorientasi
kepada akhirat sebagai bekal untuk anak-anaknya sebelum memberikan pendidikan
formal yang berorientasi keduniawian. Orang tua sudah semestinya mendampingi
anak-anaknya ketika berada di rumah maupun diluar rumah. Oleh sebab itu dalam
Islam mewajibkan semua orang tua agar menjadi teladan baik bagi anaknya. Lebih mendalami
sumber utama ajaran Islam yaitu Alquran dan hadits dengan membaca tafsir-tafsir
atau buku-buku keislaman lainnya sebagai tuntunan dalam kehidupan sehari hari dalam
mendidik anak.
Daftar
Pustaka
Jurnal
pendidikan agama islam volume 03, nomer 01 mei 2015
Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996)
Kartini
Kartono dan Jenny Andari, Hygiene Mental dan Kesehatan
Mental
dalam Islam, (Bandung: Mandar Maju, 1989)
St.
Vembriarto, Pendidikan Sosial, (Yogyakarta: Paramita, 1981)