BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Anak
merupakan titipan Allah yang paling berharga dalam setiap kehidupan manusia.
Anak yang lahir dalam suatu perkawinan yang sah, sangat ditunggu-tunggu oleh
setiap pasangan suami istri, karena perkawinan tanpa anak terasa belum sempurna
perkawinan tersebut. Anak merupakan harapan setiap orang tua sekaligus harapan
bagi setiap negara.
Sesungguhnya sejak lahir anak
telah membawa fitrah keagamaan. fitrah itu baru berfungsi di kemudian hari
melalui proses. Menurut Jalaludin seperti yang dikutip Slamet, ada tiga potensi
yang dimiliki manusia sejak lahir, yaitu potensi ruh, jasmani, dan fisik.
Perhatian
terhadap anak harus dapat sejalan dengan peradaban itu sendiri, yang makin hari
makin berkembang. Anak adalah putra kehidupan, masa depan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, anak memerlukan pembinaan dan bimbingan khusus agar dapat
berkembang fisik, mental dan spiritualnya secara maksimal.
Pola asuh terhadap anak harus
dilakukan dengan pendidikan yang baik, jika dilakukan dengan salah, maka
akan berdampak yang tidak baik bagi perkembangan jiwa dan raganya, dan tentunya
juga akan berdampak pada lingkungan sekitarnya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah pengertian pola asuh anak?
2.
Bagaimana macam-macam pola asuh dalam keluarga?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui pengertian pola asuh anak.
2.
Ingin memaparkan mengenai macam-macam pola asuh dalam
keluarga.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pola Asuh
Pola
asuh merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik
anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak-anaknya.[1]
Dalam kaitannya dengan pendidikan berarti orang tua mempunyai tanggung jawab
yang disebut tanggung jawab primer. Dengan maksud tanggung jawab yang harus
dilaksanakan, kalau tidak maka anak-anaknya akan mengalami kebodohan dan lemah
dalam menghadapi kehidupan pada zamannya. Anak pada dasarnya merupakan amanat
yang harus dipelihara dan keberadaan anak itu merupakan hasil dari dua kasih
saying antara ibu dan bapak yang diikat oleh tali perkawinan dalam rumah tangga
yang sakinah sejalan dengan harapan islam.
Dengan
demikian bahwa pola asuh yang dilakukan orang tua sama dengan bagaimana seorang
yang memimpin suatu individu maupun kelompok, karena pada dasarnya orang tua
juga bisa disebut sebagai pemimpin sebagaimana definisi kepemimpinan yakni: Leadership is the art of coordinating and
motivating individuals and group to achieve the desiret end. Dalam arti
bahwa seorang pemimpim atau sebagai orang tua dalam membimbing anak-anaknya
harus menggunakan seni dalam mengorganisasikan pola asuh dan dalam memotivasi
anak-anaknya dalam keluarga untuk mencapai manusia insan kamil.
Kingsley
Price berpendapat bahwa the formation of
the child’s character is varacity.[2]
Setiap orang tua mengharapkan anak-anaknya menjadi anak yang sholeh dan
berperilaku yang baik (ihsan), oleh karena itu dalam membentuk karakter anak
harus secermat mungkin dan seteliti mungkin. Karena pendidikan pertama yang
diterima oleh anak adalah pendidikan dari orang tua, sehingga perlakuan orang
tua terhadap anaknya memberikan andil sangat banyak dalam proses pembentukan
karakter anak. Keluarga merupakan masyarakat pendidikan pertama yang nantinya
akan menyediakan kebutuhan biologis dari anak dan sekaligus memberikan
pendidikannya sehingga menghasilkan pribadi-pribadi yang dapat hidup dalam
masyarakatnya sambil menerima dan mengolah serta mewariskan kebudayaannya.
Dengan demikian berarti orang tau harus menciptakan suasana keluarga yang
kondusif untuk mewujudkan pola asuh yang baik. Sehingga akan tercipta perilaku
yang baik, perilaku yang ihsan, baik dalam keluarga maupun di lingkungan
masyarakat.
Islam
juga memandang keluarga adalah sebagai lingkungan atau miliu pertama bagi
individu di man ia berinteraksi atau memperoleh unsur-unsur dan ciri-ciri dasar
dari kepribadian. Maka kewajiban orang tualah yang bisa menciptakan pola asuh
yang tepat dalam mendidik anak-anaknya di lingkungan keluarga. Dalam kehidupan
sekarang banyak terjadi kenakalan anak, hal tersebut akibat dari latar belakang
yang serba semrawut,dengan demikian sebaiknya pola asuh orang tualah sebagai
factor dasar dalam pembentukan pribadi anak benar-benar harmonis sehingga
setiap perbuatannya benar-benar mencerminkan pola asuh yang dipecahkan oleh
orang tuanya. Semua perbuatan anak yang dijadikan tali pengendali berasal dari
orang tuanya sendiri, orang tua merupakan suatu basis penting dalam
menanggulangi kenakalan anak-anaknya, sedang sekolah hanya sekedar faktor
penunjang maka jangan terlalu banyak berharap dari sekolah sebelum dasarnya
ditanamkan dengan kokoh. Oleh karena itu orang tua dalam menerapkan pola asuh
pada anak-anaknya harus berdasarkan nilai-nilai atau norma Islami. Orang tua
tidak hanya cukup menanamkan ketauhidan saja, tetapi yang lebih penting adalah
mensosialisasikan ketauhidan tersebut dalam perbuatan nyata.
Demikianlah
pran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak-anaknya baik dalam sudut
tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.
Persoalan sekarang bukan lagi pentingnya pendidikan keluarga, melainkan
bagaimana pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik sehingga mempu
menumbuhkan perilaku yang benar-benar baik dan sekaligus berkepribadian secara
islam, sehingga dapat diandalkan menjadi manusia yang berkualitas akhlaknya.
B.
Macam-Macam Pola Asuh Dalam Keluarga
Pola asuh yang tepat dapat
membantu membentuk anak memiliki karakter yang tepat.
Sebaliknya, pola asuh yang salah dapat membentuk
anak memiliki karakter yang kurang baik. Pada dasarnya terdapat tiga pola asuh orang tua yang sering
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan beberapa penjelasan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Pola asuh tersebut antara lain pola asuh
permisif, pola asuh
otoriter, dan pola asuh demokratis. Adapun
penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga pola asuh tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Pola Asuh Permisif
Pola Permisif adalah
membiarkan anak bertindak sesuai dengan keinginannya, orang tua tidak
memberikan hukuman dan pengendalian.[3]
Pada pola asuh ini
orang tua justru merasa tidak peduli dan cenedrung memberi kesempatan serta
kebebasan secara luas kepada anaknya.
Pola asuh ini ditandai
dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan
keinginannya sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan
kepada anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri
walaupun terkadang bertentangan dengan norma sosial.
Ciri-ciri pola asuh permisif yaitu[4] :
a.
Kontrol
orang
tua terhadap anak sangat lemah,
b.
Memberikan
kebebasan kepada anak untuk dorongan atau keinginannya,
c.
Anak
diperbolehkan melakukan sesuatu yang dianggap benar oleh anak,
d.
Hukuman
tidak diberikan karena tidak ada aturan yang mengikat,
e.
Kurang
membimbing,
f.
Anak
lebih berperan dari pada orang tua,
g.
Kurang
tegas dan kurang komunikasi.
Sebagai akibat dari pola asuh ini
terhadap kepribadian anak kemungkinannya adalah:
a.
Agresif,
b.
Menentang
atau tidak dapat bekerja sama dengan orang lain,
c.
Emosi
kurang stabil,
d.
Selalu
berekspresi bebas,
e.
Selalu
mengalami kegagalan karena tidak ada bimbingan.
Jadi pola asuh permisif
yaitu orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja, membebaskan anak untuk
berperilaku sesuai dengan keiginannya sendiri. Orang tua memiliki kehangatan, cenderung memanjakan,
dituruti keinginnannya dan menerima apa adanya. Pola asuh orang tua permisif
bersikap terlalu lunak, tidak berdaya, memberi kebebasan terhadap anak tanpa
adanya norma-norma yang harus diikuti oleh mereka. Mungkin karena orang tua
sangat sayang terhadap anak atau orang tua kurang dalam pengetahuannya.
Pola asuh ini sebaiknya
diterapkan oleh orang tua ketika anak telah dewasa, di mana anak dapat
memikirkan untuk dirinya sendiri, mampu bertanggung jawab atas perbuatan dan
tindakannya.
2.
Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter
adalah sentral artinya segala ucapan, perkataan, maupun kehendak orang tua
dijadikan patokan (aturan) yang harus ditaati oleh anak-anaknya. Supaya taat,
orang tua tidak segan-segan menerapkan hukuman yang keras kepada anak.[5]
Cara mendidik anak dalam pola asuh otoriter
dengan menggunakan kepemimpinan otoriter, kepemimpinan otoriter yaitu pemimpin
menentukan semua kebijakan, langkah dan tugas yang harus dijalankan. Pola
asuh ini ditandai
dengan aturan yang ketat, sering kali memaksa anak untuk berperilaku seperti
dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi,
anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita, bertukar
pikiran dengan orang tua,
serta hukuman-hukuman yang dilakukan dengan
keras, anak juga diatur dengan berbagai macam aturan yang membatasi
perlakuannya. Perlakuan seperti ini sangat ketat dan bahkan masih tetap
diberlakukan sampai anak tersebut menginjak dewasa.
Ciri-ciri pola asuh
otoriter di antaranya :
a.
Hukuman
yang keras,
b.
Suka
menghukum secara fisik,
c.
Bersikap
mengomandon,
d.
Bersikap
kaku (keras),
e.
Cenderung
emosional dalam bersikap menolak,
f.
Harus
mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah.
Akibatnya anak cenderung memiliki
ciri-ciri sebagai berikut[6] :
a.
Mudah
tersinggung,
b.
Penakut,
c.
Pemurung
tidak bahagia,
d.
Mudah
terpengaruh dan mudah stress,
e.
Tidak
mempunyai masa depan yang jelas,
f.
Tidak
bersahabat,
g.
Gagap
(rendah diri).
Jadi, dalam hal ini
kebebasan anak sangat dibatasi oleh orang tua, apa saja yang akan dilakukan
oleh anak harus sesuai dengan keinginan orang tua. Jika anak membantah perintah
orang tua maka akan dihukum, bahkan mendapat hukuman yang bersifat fisik dan
jika patuh orang tua tidak akan memberikan hadiah.
3.
Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis
adalah gabungan antara pola asuh permisif dan otoriter dengan tujuan untuk
menyeimbangkan pemikiran, sikap dan tindakan antara anak dan orang tua.[7]
Pola asuh demokratis
ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi
kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua dan sedikit memberi
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak
didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut
dengan kehidupan anak itu sendiri.
Anak diberi kesempatan
untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih
untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi
kesempatan untuk bertpartisipasi dalam mengatur hidupnya.[8] Di
samping itu, orang tua memberi pertimbangan dan pendapat kepada anak, sehingga
anak mempunyai sikap terbuka dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain,
karena anak sudah terbiasa menghargai hak dari anggota keluarga di rumah.
Orang tua memberi
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang yang terbaik baginya, mendengarkan
pendapat anak, dilibatkan dalam pembicaraan, terutama yang menyangkut kehidupan
anak sendiri.
Hal ini sesuai
dengan firman Allah SWT :
َبِمَا رَحْمَةٍ
مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ
وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. ali-Imron/03 :
159)
Orang tua yang mendidik anaknya dengan
sikap demokrasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.
Komunikasi orang tua dan anak
1)
Menyediakan waktu,
2)
Berkomunikasi
secara pribadi,
3)
Menghargai
anak,
4)
Mengerti
anak,
5)
Mempertahankan
hubungan.[9]
b.
Menerima
Kritik
1)
Bersikap
bersahabat,
2)
Percaya
kepada diri sendiri,
3)
Mampu
mengendalikan diri,
4)
Memiliki
rasa sopan,
5)
Mau
bekerja sama,
6)
Memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi,
7)
Mempunyai
tujuan dan arah hidup yang jelas,
8)
Berorientasi
terhadap prestasi.[10]
Pola asuh secara
demokratis sangatlah positif pengaruhnya pada masa depan anak, anak akan selalu
optimis dalam melangkah untuk meraih apa yang diimpikan dan di cita-citakan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pola asuh
merupakan suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik
anak-anaknya sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak-anaknya.
Terdapat
tiga macam pola asuh anak dalam keluarga yaitu sebagai berikut:
1.
pola
asuh permisif yaitu orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja,
membebaskan anak untuk berperilaku sesuai dengan keiginannya sendiri.
2.
Pola
asuh otoriter adalah sentral artinya segala ucapan, perkataan, maupun kehendak
orang tua dijadikan patokan (aturan) yang harus ditaati oleh anak-anaknya.
Supaya taat, orang tua tidak segan-segan menerapkan hukuman yang keras kepada
anak.
3.
Pola
asuh demokratis adalah gabungan antara pola asuh permisif dan otoriter dengan
tujuan untuk menyeimbangkan pemikiran, sikap dan tindakan antara anak dan orang
tua
B. Saran
Diharapkan
kepada orang tua agar lebih memahami bentuk pola asuh yang diterapkannya serta
menyesuaikan aturan yang diterapkan dengan usia anak.Mengingat masih kurangnya
pengetahuan orang tua tentang bentuk pola asuh yang diterapkannya dalam
menanamkan perilaku moral serta pemahamannya tentang bentuk pola asuh yang
tepat untuk anak usia dini.
Dan dalam penyusunan
makalah penulis sadar bahwa banyak kesalahan, oleh karena itu,
agar membangun dan menyempurnakan makalah di perlukan kritik atau saran dari
para pembaca. Semoga dapat memberikan manfaat
untuk kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Dariyo,
Agoes. 2011. Psikologi Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Mansur.
2005. Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Price, Kingsley. 1965. Education and Philosophical
Thought. USA: Allyn and Bacon.
Setiawan, Mary
Go. 2000. Menerobos Dunia Anak. Bandung: Yayasan Kalam Hidup.
Subroto, Hadi. 1997. Mengembangkan
Kepribadian Anak Balita. Jakarta: Gunung.
Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
pelajar offset.
Yusuf, Syamsu. 2008.
Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1]Chabib Thoha, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, 1996), Cet.
I, hlm. 109.
[2]Kingsley Price, Education
and Philosophical thought, (USA: Allyn and Bacon, 1965),
hlm. 401.
[3] Hadi Subroto, Mengembangkan
Kepribadian Anak Balita, (Jakarta: Gunung, 1997), hlm. 59.
[4] Syamsu Yusuf., Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hlm. 52.
[5] Agoes Dariyo, Psikologi
Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011),
hlm. 207.
[6] Syamsu Yusuf LN., Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008). Hlm. 51.
[7] Agoes Dariyo, Psikologi
Perkembangan Anak Tiga Tahun Pertama, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2011),
hlm. 208.
[8] Chabib Thoha, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka pelajar offset, 1996), Cet.
I, hlm. 111.
[9] Mary Go Setiawan, Menerobos
Dunia Anak, (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2000), cet I, hlm. 69-71.
[10] Syamsu Yusuf, Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008). Hlm. 52.